Adi Rahman Adiwoso, Tinggalkan AS Nekat Bangun Satelit di RI

Adi Rahman Adiwoso, Tinggalkan AS Nekat Bangun Satelit di RI

Adi Rahman Adiwoso mengembangkan industri satelit di dalam Negeri dan ikut membangun perusahaan satelit Pasifik Satelit Nusantara (PSN).

Situs Judi Online Terpercaya Adi Rahman Adiwoso, Tinggalkan AS Nekat Bangun Satelit di RI.

Rahman Adiwoso sibuk menyiram tanaman di pekarangan rumahnya. Ia memilih berkebun untuk mengisi waktu luang, di tengah hari libur yang tidak diperbolehkan beraktivitas di luar rumah imbas pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di Jawa-Bali. Berkebun memang bukan keahlian Adi. Ia masyhur sebagai pelopor dalam mengembangkan industri satelit di dalam Negeri, dengan ikut membangun perusahaan satelit Pasifik Satelit Nusantara (PSN). Adi di masa kecil bukan bocah kaleng-kaleng. Sedari kecil ia mengaku sangat tertarik dengan berita-berita di koran yang melaporkan ada manusia sudah bisa singgah di Bulan, salah satunya kosmonaut asal Rusia, Yuri Gagarin. Terlebih saat di usia 9 tahun 1960, ia pertama kalinya melakukan penerbangan menggunakan pesawat. “Dulu saya terbang pertama di usia 9, karena ayah saya di Kementerian Luar Negeri, jadi pergi tahun 1960 saya terbang pertama kali. Pasti tertarik lah, pada tahun itu pesawat terbang sangat menarik,” kenang Adi

Alasan itulah yang akhirnya memicu Adi berkeinginan untuk mengambil studi di bidang aeronautika. Ia sempat mengenyam pendidikan di Bachelor of Science dari Universitas Purdue, hingga master di bidang aeronautika di Institut Teknologi California, Amerika Serikat (AS). “Ayah saya kebetulan ditempatkan di Amerika Serikat ya saya selesai SMA di Indonesia cari sekolah akhirnya dapat sekolah, kemudian sekolahnya kasih beasiswa S1 sama S2 ya sudah sekolah di sana,” tuturnya. Baca juga: Laksana Tri Handoko, Petugas SPBU di Jepang Kini Kepala BRIN Ia nekat ambil studi di bidang sains, padahal tidak ada garis turunan yang menempuh studi di dunia eksakta. Ayahnya seorang lulusan sarjana Hubungan Internasional, sementara sang ibunda hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Namun kedua orangtua Adi membebaskan anak-anaknya untuk mengambil pendidikan di bidang apapun. Adi beserta 5 saudaranya berbeda mengambil studi. Ia menyebut, beberapa saudaranya ada yang menempuh studi di bidang linguistik, dan ada yang di bidang kedokteran gigi. Kebebasan itu yang membuatnya leluasa dalam mendalami suatu ilmu. di Perusahaan Perakit Satelit di AS Saat menempuh studi di AS, ia tidak hanya ingin sekolah saja, melainkan berjuang mencari ilmu dan pengalaman di luar kampus dengan cara mengikuti program magang di salah satu perusahaan perakit satelit di AS, Hughes Aircraft. Adi menceritakan awalnya berniat hanya magang di perusahaan itu. Namun nasib berkata lain. Ia ditawari untuk kerja di perusahaan itu usai menyelesaikan studinya. Tak terasa waktu 8 tahun sudah dilaluinya. Ia mengaku perusahaan itu membuat dirinya kerasan lantaran tidak membeda-bedakan suku, ras atau kebangsaan. Ia menilai kerja di perusahaan di AS tidak bedanya dengan pekerja biasa di tanah air. Usai 8 tahun berselang, rasa nasionalismenya tergugah. Ia berkeinginan untuk kembali ke kampung halamannya, dengan misi untuk mengembangkan usaha di bidang satelit, dan ingin merasakan tantangan baru. Pada 1982 akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke tanah air. Meski dengan rasa khawatir tidak mendapatkan kerja di Indonesia, ia memberanikan diri mengajukan surat pengunduran di perusahaan satelit AS itu. Rasa khawatir itu ia sampaikan kepada pimpinan perusahaannya saat mengajukan surat pengunduran diri. Sampai akhirnya ia diminta oleh pimpinan agar dapat kembali ke perusahaan itu, apabila dirinya gagal berjuang di tanah kelahirannya. “Saya dulu baik-baik keluar dari perusahaan AS itu. Kalau saya gagal dalam 4-5 tahun, saya bisa kembali ke AS. Akhirnya saya boleh pulang ke Indonesia, dibayarin ongkosnya, dikasih gaji 6 bulan. Kalau enggak cocok boleh kembali,” ujar dia.

Akhirnya pada 2 Juli 1991 ia bertemu ahli satelit yang juga akademisi di Institut Teknologi Bandung (ITB),Iskandar Alisyahbana, dan mengembangkan perusahaan satelit pertama di dalam negeri, yaitu Pasifik Satelit Nusantara. Kini Adi menjabat menjadi Presiden Direktur di perusahaan itu. Pada awalnya PSN didirikan dengan tujuan mengaktifkan kembali satelit Palapa B1 yang telah berakhir umur layannya dengan menggunakan teknik inclined-orbit. Pemerintah Indonesia mengizinkan PSN untuk membeli dan mengambil alih satelit Palapa B1. Dobrak Tata Cara Lama Lebih lanjut ia menceritakan tantangan Indonesia di bidang keantariksaan. Adi menilai ada beberapa poin yang harus dipahami oleh para saintis, yakni menerjemahkan dan membuat program yang mudah dimengerti oleh pimpinan, agar sains dan teknologi memiliki kiprah secara ekonomis. Saat ini ia mengaku senang melihat geliat anak muda Indonesia menciptakan perusahaan rintisan di bidang teknologi, seperti GoJek dan Tokopedia. Hal itu disebutnya merupakan siasat dalam mendobrak tata cara lama, yang biasanya perusahaan rintisan teknologi dikembangkan oleh pemerintah atau perusahaan di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Zaman saya itu hampir tidak mungkin [mendobrak tata cara itu], semua urusan diurus oleh pemerintah atau BUMN. Jadi untuk bikin satu usaha teknologi itu hampir ga bisa,” ujarnya. Di samping itu ia meilai pengembangan roket di Indonesia sudah mandeg sejak tahun 60-an. Pada masa itu, seluruh pengembangan kedirgantaraan diambil alih oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan perusahaan BUMN PT. Dirgantara. Menurutnya, pengembangan teknologi yang bisa dikembangkan di Indonesia memiliki banyak peluang. Namun tidak melulu di bidang keantariksaan. Maka dari itu antariksa saat ini tidak terlalu banyak perhatiannya. Lebih lanjut Adi menilai saat ini seharunsya kita melihat bahwa ruang angkasa bukanlah suatu kemewahan, melainkan suatu kemudahan. Terlebih saat ini sudah dibuktikan dengan beragam satelit yang dijual dengan harga murah. “Kita secara menyeluruh harus melihat bahwa ruang angkasa itu bukan suatu kemewahan, malah suatu kemudahan. Apalagi dengan harga satelit yang murah,” tuturnya

Adi mengatakan dalam mengembangkan teknologi, tidak melulu memikirkan modal dan anggaran. Semua bisa dibangun dengan aspek keterdesakan dan keterbatasan. Ia berkisah orang dengan keterbatasan memiliki 1000 akal untuk terdorong mengembangkan sesuatu. Pria berumur 68 tahun itu menceritakan bahwa ada keterdesakan AS membuat bom atom dan Jerman membuat roket pada masa perang dunia ke dua. Keterpaksaan itulah yang membuat beberapa negara akhirnya menciptakan sesuatu. “Pertanyaanya adalah, bisa gak kita menciptakan sesuatu tanpa peperangan?” tanya dia. Ia menilai Indonesia memiliki potensi di bidang buah-buahan dan perkebunan. Jika hal itu dikombinasikan dengan ilmu teknologi dan ekonomi, nantinya bisa menciptakan keunggulan di bidang itu agar hasil pengembangan bisa dikirim ke luar negeri dengan kualitas ekspor. “Saya mengharapkan yang muda-muda melihat ini sebagai kesempatan dan satu tantangan. Suasana ini yang harus diciptakan,” ujarnya. Ia menceritakan ketika mengembangkan perusahaan berbasis satelit di Indonesia. Menurutnya, ia saat itu hanya bermodal ilmu nekat. Lebih dari itu kebetulan belum banyak yang menjalankan usaha di bidang satelit. “Mungkin saya dulu banyak ilmu nekatnya, saya mencoba dan kebetulan saja bidang ini belum ada yang menjalankan selain Perumtel, sebelumnya gada yang jalankan, dan ternyata saingan kita ga banyak,” ujarnya. Ia menilai setiap generiasi memiliki tantangan yang berbeda beda. Namun dalam mengembangkan teknologi, kata dia, harus memperhatikan aspek yang disebutnya ‘Science Dollar’. Rumus Science Dollar merupakan kolerasi antara buah pikir engineer dengan aspek penjualannya. Jadi, dijelaskan Adi, dalam mengembangkan ilmu sains, harus dilihat juga nilai jualnya dan jangan hanya menciptakan teknologi saja. Baca juga: 4.200 BTS dan 12 Ribu Jaringan Palapa Ring Akan Dibangun 2021 Meski terbilang sukses dalam mengembangkan perusahaan satelit di Indonesia, ia juga menuturkan kesulitannya dalam mengembangkan produk satelit. Adi menceritakan bahwa produk satelit yang ia kembangkan yakni satelit Garuda merupakan salah satu yang tersulit baginya, lantaran pertama kalinya Indonesia memiliki satleit dengan antena setinggi 15 meter, dan memiliki berbagai prosesor. Indonesia saat itu tidak sendiri membangunnya, melainkan bersama Thailand dan Filipina. Kini tantangannya adalah menurunkan harga untuk telekomunikasi dan broadcasting. Sebagai contoh pada tahun 1974-1975, Indonesia membeli 40 stasiun Bumi dengan harga US$1 juta, jika dihitung inflasi saat ini senilai US$10-15 juta, atau senilai Rp145-218 miliar (kurs Rp14.548). Namun kini dengan harga Rp7 juta sudah bisa membeli produk stasiun Bumi milik PSN, dan bisa dipakai broadband di mana-mana. Salah satu cara itulah yang kini menjadi tantanganya untuk terus memajukan telekomunikasi di Indonesia. Saat ini PSN memiliki beberapa proyek pembangunan satelit di Indoneisa, salah satunya proyek pemerintah yakni satelit Satria 1. Satelit itu disebut akan meluncur pada pertengahan 2023, menggantikan Nusantara 2 yang gagal meluncur tahun lalu. Di samping itu ia berharap anak muda Indonesia bisa menyelami dunia antariksa, untuk mendobrak biaya yang kerap disebut mahal. Pengembangan-pengembangan yang disebut mahal itu lantaran zaman dahulu semua dilakukan dari nol. Kini anak muda dapat menggunakan Google dan Youtube sebagai medium belajar. “Jadi mungkin sekarang kalau ada anak muda mau bikn roket bisa lihat dari Google atau dari Youtube. Itu mungkin dalam waktu 2-3 bulan sudah mendapat 20-30 persen pengalaman orang. Kalau dulu kan ga bisa, harus dari 0,” ujarnya. Ia lantas mendorong anak muda untuk terus berfikir cepat, agar Indonesia tidak menjadi negara yang ketinggalan sekali dengan negara-negara lain. “Cita-cita saya sih bikin sesuatu yang bisa dipakai lama, dan sangat bermanfaat. 2024 saya 50 tahun dalam bidang ini. Ayo yang muda-muda muncul dong,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *